Liontin untuk Mama
Ku pandangi langit senja sore itu. Mendung, tertutupi awan hitam. Semendung hatiku yang sedang bingung. Seakan-akan alam ini mengerti kondisi perasaanku. Isi otak di kepalaku seakan-akan mau keluar. Aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.
Hari itu tepat seminggu setelah kelulusan SMA ku. Aku bersyukur pada Allah swt karena aku dinobatkan sebagai lulusan terbaik se-kabupaten. Setidaknya, aku sudah memberi suatu kebanggaan untuk mamaku tercinta. Dan, aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi negeri di kota. Mama pun semakin bangga kepadaku. Apalagi beasiswa yang aku terima adalah jurusan keguruan. Seharusnya aku senang saat itu. Namun, justru hal itulah yang membuatku bingung tak karuan. Pemerintah hanya membayar secara cuma-cuma uang pendaftaran serta uang kuliahku tiap semester hingga aku lulus menjadi sarjana. Namun, ongkos makan, tempat tinggal dan perlengkapan kuliah lainnya harus kutanggung sendiri bila aku menyanggupi untuk menerima beasiswa itu.
Alasan klasik! Financial. Itulah alasan mengapa waktu itu aku sulit membuat keputusan. Dari mana mama mendapatkan uang untuk biaya hidupku di kota? Sedang mama…. Aahh, aku tak sanggup melihat kerutan di wajah mama. Andai ayah masih ada di tengah-tengah kami, mungkin aku tak perlu terlalu cemas. Laki-laki yang sangat tampan dan gagah. Yang hanya bisa kupandangi lewat foto, telah meninggal sejak aku berusia 2 tahun. Kata mama, ayah meninggal saat mencari ikan di laut. Waktu itu badai sedang melanda kampung kami. Namun ayah tetap nekad mencari ikan ke laut, karena kata mama, saat itu aku sedang sakit, panasku tinggi sekali hingga ayah harus mencari banyak ikan untuk di jual demi biaya berobatku.
Sekitar satu jam berlalu ku habiskan waktuku di sore itu untuk melamun di teras rumahku yang hanya berlantaikan tanah dan beratapkan daun nipah. Tiba-tiba mama keluar menghampiriku dengan sepiring snack kesukaanku. Ubi goreng panas yang cukup menggiurkan disaat dingin. Namun, yang membuatku cukup terheran-heran adalah amplop putih yang mama pegang. Tanpa memberi kesempatan untukku bertanya, mama langsung menyerahkan amplop putih itu kepadaku. Perlahan tapi pasti, kubuka amplop itu dan ternyata….Subhanallah,,,isinya uang senilai 5 juta rupiah.
“Temuilah bapak kepala sekolah besok. Dan katakan bahwa kau akan mengambil beasiswa itu.”, ucap mama dengan penuh antusias.
“Tapi, Ma….”, belum sempat ku bertanya, mama meyela ucapanku.
“Tak usah kau khawatir, Tiara. Ambillah uang itu dan gunakan sebaik mungkin untuk di kota nanti. Bila habis, mama akan mengirimkan uang lagi untukmu. Jangan kau pikirkan darimana mama dapatkan uang itu. Yang terpenting, kau bisa kuliah dan meraih cita-citamu”, kata mama dengan penuh keyakinan kepadaku.
Seketika itu pula ku peluk mama dengan erat. Tetes air mataku perlahan membanjiri pipiku seiring gerimis turun basahi halaman rumahku yang reot. Mama pun semakin erat mendekapku dalam pelukannnya. Seakan tak ingin melepasku. Tangis kamipun semakin menyatu dengan irama rintik hujan di senja sore itu.
*****
Oktober 2009
Hangat pelukan mama 4 tahun yang lalu seakan-akan masih terasa olehku. Mama yang begitu kurindu. Ingin kupeluk dan tak ingin ku lepas. Telah lama tak kurasakan belaian tangannya yang lembut dan suaranya yang merdu ketika bernyanyi menidurkanku.
“Ma, hari ini Tiara rindu sekali dengan mama.”, ucapku dalam hati sambil memeluk foto mama yang hanya satu-satunya, yang ku pajang manis dipojok kamar kostku.
Ku pandangi keluar jendela kamarku. Senja sore ini sedang tak bersahabat. Rintik hujan seakan tak pernah lelah tuk turun ke bumi. Mengingatkan aku pada malaikatku, mama. Tentang uang di amplop putih. Sungguh pilu hatiku ketika ku tahu bahwa ternyata uang itu adalah hasil penjualan liontin mama satu-satunya, kenangan almarhum ayah.
Waktu itu hari pengumuman kelulusan SMA ku. Sejak subuh, detak jantungku semakin kencang tak karuan layaknya petasan di hari raya. Namun aku berusaha untuk tetap terlihat tenang. Ku kenakan seragam putih abu-abu kebanggaanku dan ku bercermin sambil tersenyum kaku.
“Tiara, apakah kamu sudah siap?”, terdengar suara mama memanggilku dari luar kamar.
“Sudah, Ma. Sebentar lagi Tiara keluar.”, segera ku ambil tas ransel pinkku yang terlihat beberapa bekas tambalannya dan ku pasang sepatuku yang sudah terlihat usang.
Kuhampiri mama yang sudah menungguku dari tadi di halaman depan rumahku. Aku terpana melihat penampilan mama hari itu. Mama terlihat begitu cantik. Mama memakai baju terbaiknya yang ia miliki, yang mungkin hanya di pakai saat hari raya. Dan, sebuah liontin cantik yang terangkai indah di lehernya. Liontin yang tak pernah ku lihat sebelumnya. Di tengah perjalanan ke sekolah dengan berboncengan menggunakan sepeda keranjang yang sudah tua, ku beranikan diri bertanya pada mama.
“Cantik sekali liontinnya, Ma”, ucapku penasaran.
“Liontin ini adalah pemberian ayahmu ketika menikahi mama.”
“Oooo,,, “, gumamku kecil.
Saat itu baru ku tahu bahwa ternyata dulu ayahku dari sejak lajang adalah seorang pengusaha besar di kota. Namun karena ulah temannya yang curang, ayah mengalami kerugian besar dan akhirnya bangkrut. Orang tuaku tak mampu membayar hutang yang cukup besar. Semua aset kekayaan pun disita oleh Bank. Termasuk rumah. Hingga ayahku memutuskan untuk pindah ke kampung. Untunglah masih ada rumah peninggalan kakek buyutku. Jadilah hingga kini aku tinggal di kampung. Dan tentang liontin, itu adalah liontin asli yang ayah beli di Prancis sewaktu usaha ayah masih lancar dan diberikan saat menikahi mama.
Yang membuatku pilu hingga hari ini adalah ternyata mama menjual liontin itu kepada seorang juragan ikan di kampungku. Liontin kesayangan dan satu-satunya peninggalan almarhum bapak itu dijual demi biaya hidupku di kota. Aku mengetahuinya ketika di pagi hari keberangkatanku ke kota.
Pagi itu aku hendak pamit pada mama. Setelah ku tunggu, mama tak kunjung keluar dari kamarnya. Dan kuputuskan untuk masuk ke kamar mama yang tidak terkunci. Mungkin mama tidak sadar bahwa aku dari tadi memperhatikannya sedang duduk memandangi sebuah kotak kecil kosong berwarna merah. Seperti kotak perhiasan.
“Ma, Tiara mau pamit.”, suaraku ternyata membuat mama terkejut. Segera mama menyembunyikan kotak merah itu. Namun, selintas sempat kulihat tulisan di kotak itu “Paris’s Liontin”.
Aku berusaha menahan tangis di depan mama saat itu. Aku tak ingin membuatnya tambah sedih dengan kepergianku. Namun, sejak saat itu aku bertekad bahwa aku tak akan mengecewakan mama. Aku akan serius belajar dan secepatnya meraih gelar sarjana dan mencari pekerjaan. Dan keinginan terbesarku adalah membelikan sebuah liontin untuk mama, sama seperti yang ayah belikan untuk mama dulu.
*****
April 2010
Fajar perlahan menyingsing dari ufuk timur. Suara ayam berkokok bagaikan alarm alami setiap paginya untuk membangunkanku. Merdunya azan membuat hatiku bergetar untuk segera bangkit dari kasur malasku untuk mengambil air wudhu. Walau dingin menusuk tulang, namun aku begitu bersemangat untuk menghadapi hari ini.
Hari ini aku akan pulang ke kampung halamanku untuk melihat keadaan mamaku yang amat sangat aku rindukan. Sudah 4,5 tahun aku tak pernah berjumpa dengan mamaku. Hanya berkomunikasi lewat surat atau telepon genggam yang ku pinjam dengan temanku untuk mengobati rinduku dengan mama di kampung. Itupun tak bisa setiap saat karena untuk menghubungi mama harus melewati pak Kades dulu, karena cuma beliau yang punya telepon.
Selama ini bukannya aku tak mau pulang kampung, namun ongkos pulang yang tak cukup. Untuk biaya hidup saja sudah pas-pasan. Belum lagi biaya buku dan embel-embel urusan kuliah yang lain. Jika uangnya ku gunakan untuk pulang kampung, itu sama saja aku harus lebih berhemat lagi untuk makan. Sedang makan saja hampir tiap harinya dengan menu andalan yang sama, yaitu mie instan yang tak kalah enaknya dengan spaghetti kaldu ayam. Namun sekarang, aku telah punya uang lebih dari hasil keringatku sendiri.
“Ya Allah,,, Engkau Maha Penyayang. Sungguh hamba adalah manusia yang lemah tanpa belas kasih-Mu. Ku bersyukur pada-Mu, ya Allah… Hari ini Kau telah kabulkan pintaku dan Kau telah wujudkan segala mimpi dan asaku. Engkau telah beri aku jalan kemudahan untuk menyelesaikan kuliahku dan kini Engkau pula telah ringankan jalanku untuk memperoleh pekerjaan. Ya, Allah,,, kini ku mohon pada-Mu, beri aku kesehatan dan keselamatan agar hari ini aku bisa bertemu dengan mamaku….”.
“Begitu khusyuknya kau berdoa tadi, Tiara?”, sapa Tiwi, teman sekamarku sekaligus teman sekampusku yang aku kenal sejak aku masuk kuliah. Sahabat yang selama ini selalu memotivasiku.
“Iya, Wi. Aku bersyukur sekali pada Allah karena kini aku sudah bisa mewujudkan mimpi mamaku.”
“Aku juga ikut senang, Tiara. Aku yakin mamamu juga akan sangat bahagia melihat kesuksesanmu kini.”, kata Tiwi dengan tersenyum.
Segera ku kemas pakaian-pakaianku ke dalam tas. Tak lupa ku masukkan sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah ke dalam tasku. Dengan tersenyum kecil, ku yakin mama menyukainya. Sebuah liontin yang telah kupersiapkan sejak seminggu yang lalu. Liontin hati yang mirip dengan liontin yang pernah diberi oleh almarhum ayah kepada mama. Walau bukan dari Perancis, namun ku usahakan bentuknya sama dan ini ku beli dari hasil keringatku sendiri. Selama kuliah aku mencari kerja sampingan dengan mengajar les privat dan mengajar ngaji. Lumayan uangnya untuk menambah biaya hidupku, sehingga mama tak perlu lagi mengirimkanku uang. Dan setelah aku sarjana, kini aku di terima sebagai guru honor di salah satu SMP swasta di kota. Alhamdulillah, aku bisa menabung untuk membeli liontin yang akan kuberikan sebagai hadiah kepada mama nanti.
“Hati-hati ya, Tiara. Salam buat mamamu di kampung.”, ucap Tiwi sambil memelukku ketika aku akan berangkat.
“Iya. Terima kasih ya, Wi. Kamu juga hati-hati di sini. Aku berangkat dulu.”, ucapku sambil menuju bis yang sudah datang menjemputku. Tepat pukul 8 pagi aku berangkat menuju kampung halamanku. Dengan penuh rasa harap dan bahagia. Aku tak sabar ingin memeluk mama.
*****
Pukul 15.30 …
Berjam-jam lamanya aku di dalam bis yang padat penumpangnya. Lumayan membuatku sedikit mabuk karena bau bahan bakarnya ditambah lagi bau asap rokok. Namun, itu tak menyurutkan semangatku. Kini aku sudah sampai di kecamatan tempat aku tinggal. Aku berhenti di sebuah perempatan tepat di depan sebuah warung kecil. Dengan melangkah ringan aku turun dari bis dan mengambil barang-barangku.
Betapa bahagianya aku. Segera aku berjalan memasuki gang kecil yang letaknya tepat di samping warung. Sekitar 10 menit aku berjalan kaki, kini langkahku terhenti di sebuah rumah yang sangat aku rindukan. Sebuah rumah yang berlantaikan tanah dan beratapkan daun nipah. Rumah yang telah 4,5 tahun aku tinggalkan.
“Assalamu’alaikum …..”, ucapku ketika tiba di depan pintu rumahku. Aku memang sengaja tak memberi tahu mama tentang kepulanganku.
“Assalamu’alaikum ….”, untuk kedua kalinya aku mengucapkan salam. Namun, sosok yang ku harapkan tak kunjung muncul. Rumahku memang sepi. Namun semua jendela terbuka dan pintu pun tak tertutup rapat. Lalu aku putuskan untuk langsung saja masuk.
“Mama …. Ma…. Mama ….”, aku memanggil-manggil mamaku sambil menuju ke kamar mama.
“Uugh…uhugh… “, terdengar suara batuk dari kamar Mama. Ku percepat langkahku. Dan ketika ku membuka pintu kamar mama, ku lihat mama terbaring lemah di kasur tipis.
“Mama ….!!!! Mama kenapa, Ma?”, tanyaku pilu melihat keadaan mama. Kupeluk erat mama. Kurasakan tubuhnya yang semakin kurus. Wajahnya yang pucat dihiasi keriput yang semakin banyak.
“Ti…..a..ra…”, suara parau mama mecoba memanggil namaku. Merinding aku mendengar kembali suara mama.
“Ka…mu… pu..lang, Nak? Uughh,,ughh,,,”, mama mencoba tersenyum walau batuk yang sangat menyiksa itu.
“Iya, Ma.. Tiara rindu dengan mama. Tiara kangen… Mama kenapa? Kita ke puskesmas ya, Ma?”, ku rayu mama dengan ku elus kepalanya agar mama mau berobat.
Mama hanya menggeleng kecil. Mama tetap tidak mau dibawa ke puskesmas. Namun batuk mama semakin parah.
“Uugghh….uughhh…ugghh…”, batuk mama kali ini semakin kuat hingga mengeluarkan darah.
“Mama kenapa, Ma? Mama bilang ke Tiara…. Mana yang sakit, Ma?”, aku mulai panik. Aku tak ingin terjadi apa-apa dengan mamaku tersayang. Aku segera memanggil beberapa orang tetanggaku untuk membawa mama ke puskesmas di kecamatan.
Setelah sekitar satu jam setengah menunggu mama sadar, akhirnya aku diperbolehkan masuk oleh dokter.
“Tiara ….”, masih dengan suara yang lemah, mama mencoba memanggil aku dan ia mencoba untuk duduk agar bisa memelukku.
“Mama baring aja, Ma. Jangan duduk. Mama masih belum kuat.”, pintaku. Mama mengangguk kecil dan tersenyum.
“Ma, kini Tiara tidak akan tinggalkan Mama lagi. Tiara sekarang sudah jadi sarjana dan Alhamdulillah sekarang Tiara sudah menjadi guru honor di SMP. Setelah Mama sembuh, Tiara akan membawa Mama ke kota. Kalau Mama keberatan, biar Tiara yang melamar jadi guru di sini. Gimana, Ma?”, ceritaku pada mama untuk menghibur.
“Iya…”, mama hanya sanggup berucap kecil. Matanya tajam menatapku seakan penuh harap.
“Ma, ini Tiara persembahkan untuk Mama.”, aku mengeluarkan liontin hati dari kotaknya. Mama memegang liontin itu di tangan kanannya. Diciumnya. Kini mama semakin erat menggenggam tanganku. Di kelopak matanya kini membendung air mata yang seakan-akan hampir tumpah. Kucium kening mama. Kucium pipi dan tangannya. Mama semakin tersenyum menatapku. Dirangkulnya aku dan semakin erat mama memelukku. Seakan tak mau lepas.
Di ruang rawat sebuah puskesmas kecil, ku rasakan kembali pelukan mama. Begitu erat. Begitu hangatnya. Begitu mesra belaian tangannya. Wanita yang selama ini aku tinggalkan. Ingin ku tak meninggalkannya lagi dalam kesendirian. Air mataku pun tak mampu ku tahan. Mengalir lembut di pipiku. Ku lihat mama pun meneteskan air matanya.
Namun, pelukan mama perlahan merenggang. Belaian tangan mama semakin melemas. Matanya kini perlahan tertutup.
“Ma… Mama…”, ku panggil mama, namun…. Mama tak bergerak. Terus kugoyang badannya. Mama tetap tak bereaksi. Tubuhku lemas. Aku tak percaya ini semua. Mama meninggalkan aku dalam senyumnya.
“Mama… jangan tinggalkan Tiara.. Ma, Tiara gak mau sendiri… Mama,,, dengarin Tiara, Ma… Mama….Tiara sayang Mama… jangan tinggalin Tiara…”
Ya Allah, aku seakan tak percaya akan takdir yang Kau tulis untukku. Aku belum sempat membuat mama bahagia. Aku belum sempat membayar segala pengorbanannya selama ini. Apa yang harus ku lakukan ya Allah… kini wanita yang ku sayang, malaikatku di dunia, tempat aku berlindung, tempat aku memperoleh kehangatan, kini ia telah terbujur kaku. Senyum kakunya membuat perih hatiku. Teringat atas pengorbanannya selama ini membesarkanku seorang diri. Perjuangannya agar aku tetap bisa kuliah. Mama yang selalu berbohong kepadaku ketika aku mengiriminya uang hasil aku mengajar les privat. Uang itu selalu mama kirim balik ke aku. Mama bilang, uang mama masih ada dan cukup untuk makan. Padahal, hingga larut malam mama harus membuat kue untuk dijual besok harinya. Mama berbohong untuk menguatkan aku dan tak ingin merepotkan aku. Mama yang selalu berbohong ketika ku tanya kabarnya. Mama selalu bilang sehat-sehat saja, padahal mama sudah lama mengidap penyakit TBC. Mama berbohong agar aku tak kepikiran dan agar kuliahku tak terganggu.
Ya Allah … aku belum sempat menghapus duka di hatinya. Aku belum sempat menghapus peluh di wajahnya. Aku belum sempat membuatnya tersenyum. Aku belum sempat meminta maaf atas kesalahan-kesalahanku. Aku yang sudah meninggalkannya sendiri.
Ma… Tiara sayang mama. Maafkan Tiara, ma. Maafkan Tiara yang selama ini belum sanggup membuat mama bahagia. Mungkin apa yang selama ini Tiara lakukan belum sanggup untuk membayar segala pengorbanan tulus yang mama beri ke Tiara. Mungkin ucapan terima kasih ini sudah terlambat… namun, Tiara yakin… Mama mendengarnya. Ma, terima kasih selama ini mama telah menjadi malaikatku. Terima kasih atas segalanya yang telah mama beri. Tiara sayang mama…. Untuk malaikatku, mama tersayang …Tiara persembahkan liontin ini. Yang akan menemani mama dalam pusara peristirahatan terakhir ini. Love You Mama…. Dari anakmu, Mutiara.
Pontianak, 18 April 2010
23:23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar